Ilmu Sasongko Jati (pengertian Makrifat)
Wirid Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu” lebih mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi; perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.
Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-Yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon” atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit dibayangkan dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen.
Gigiring Punglu; Gigiring mimis; Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
Wekasaning Samodra tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
Latu sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
Peksi miber angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
Baita amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
Angin katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
Bumi kapethak ing salebeting siti; bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
Mendhet latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa nafsu kita.
Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
Tirta kinum ing toya (air tertelan oleh air), ataungangsu rembatan toya (menimba dengan air); atautoya salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita.
Srengenge pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai “awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal kehidupannya di dunia, sekaligusakhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga kali menitisnya “Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
Sawanganing samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya mulut).
Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatma sampai padangabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam disebutarsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini,aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak danjantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagaitawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci (nurullah) ataucahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang darisukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak mengikuti nafsu.
Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijanatau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkanpanimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.
Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).
Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa(pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
Menawi pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
Menawi karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu danrasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kitawaspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa).
Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati.
Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di alam kasampurnan.Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnyaorang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana “cangkriman” berikut ini;
bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”
Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.
Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothokadalah hewan banteng. Sehingga namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namunalu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagaibothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solah dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.
TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG
TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk.Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling danwaspadha.
Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll.
Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.
Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan).
Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan.Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil.
Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !
TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akansangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil”
Waspadha terhadap apa saja yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan)
4. Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri.
Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah
Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen,setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia.
Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.
TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataranKesinungan dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian tataran ini sama halnyalaku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal.
Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain.
Sikap ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.
NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda.
Singkat kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah.
Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yanganda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan.
Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.
MENGENALI JATI DIRI
Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang
Siapa sejatinya diri kita sebagai manusia ? Pertanyaan ini sederhana, dapat dikemukakan jawaban paling sederhana, maupun jawaban yang lebih rumit dan rinci. Jawaban masing-masing orang tidak bisa diukur secara benar-salah. Cara menjawab siapa diri manusiahanya akan mencerminkan tingkat pemahaman seseorang terhadap kesejatian Tuhan. Hal ini sangat dipermaklumkan karena berkenaan dengan eksistensi Tuhan sendiri yang begitu penuh dengan misteri besar. Upaya manusia mengenali Sang Pencipta, ibarat jarum yang menyusup ke dalam samudra dunia. Yang hanya mengerti atas apa yang bersentuhan dengannya. Itupun belum tentu benar dan tepat dalam mendefinisikan. Tuan memang lebih dari Maha Besar. Sedangkan manusia hanya selembut molekul garam. Begitulah jika diperbandingkan antara Tuhan dengan makhlukNya. Namun begitu kiranya lebih baik mengerti dan memahamiNya sekalipun hanya sedikit dan kurang berarti, ketimbang tidak samasekali.
Secara garis besar dalam diri manusia memiliki dua unsur entitas yang sangat berbeda. Dalam pandangan ekstrim dikatakan dua unsur pembentuk manusia saling bertentangan satu sama lainnya. Tetapi kedua unsur tidak dapat dipisahkan, karena keduanya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terpisahnya di antara kedua unsur pembentuk manusia akan merubah eksistensi ke-manusia-an itu sendiri. Yakni di satu sisi terjadi kerusakan/pembusukan dan di sisi lain keabadian.
Umpama batu-baterai yang memiliki dua dimensi berbeda yakni fisiknya dan energinya. Kedua dimensi itu menyatu menjadi eksistensi batu-baterai berikut fungsinya. Dua unsur dalam manusia yakni; immaterial dan material, metafisik dan fisik, roh dan jasad, rohani dan jasmani, unsur Tuhan dan unsur bumi (unsur gaib dan unsur wadag). Marilah kita urai satu persatu kedua unsur pembentuk eksistensi manusia tersebut.
Unsur Bumi
Jasad manusia wujudnya disusun berdasarkan unsur-unsur material bumi (air, tanah, udara, api). Unsur air dan tanah dalam tubuh terurai secara alami melalui proses ilmiah (rumus ilmu pengetahuan manusia) dan rumus alamiah (yang sudah berproses melalui rumus-rumus buatan Tuhan). Unsur tanah dan air yang sudah berproses akan berubah bentuk dan wujudnya sebagai bahan baku utama jasad yang terdiri dari empat unsur yakni ; daging, tulang, sungsum dan darah. Sedangkan unsur udara akan berproses menjadi kegiatan bernafas, lalu berubah menjadi molekul oksigen dalam darah dan sel-sel tubuh. Unsur api akan menjadi alat pembakaran dalam proses produksi jasad, tenaga, energi magnetis, dan semua energi yang terlibat dalam memproses atau mengolah unsur tanah dan air menjadi bahan baku jasad.
Jasad wadag menurut istilah barat sebagai body atau corpus, merupakan wadah atau bungkus unsur Tuhan dalam diri manusia. Unsur wadah tidak bersifat langgeng (baqa’), sebab unsur wadah terdiri dari bahan baku bumi, maka ia terkena rumus mengalami kerusakan sebagaimana rumus bumi.
Unsur Tuhan
Sebaliknya, unsur Tuhan bersifat kekal abadi tidak terjadi rumus kerusakan. Unsur Tuhan (Zat Tuhan) dalam tubuh manusia diwakili oleh metafisik manusia yakni unsur roh (spirit atau spiritus). Roh merupakan derivasi unsur Tuhan yang paling paling akhir dan paling erat dengan bahan baku metafisik manusia (Baca Posting; Mengungkap Misteri Tuhan). Dan spirit diartikan sebagai roh, ruh atau sukma. Roh bersifat suci (roh kudus/ruhul kuddus), tidak tercemar oleh “polusi” dan kelemahan-kelemahan duniawi. Karakter roh adalah berkiblat atau berorientasi kepada martabat kesucian Tuhan. Arti kata roh sangat berbeda dengan entitas jiwa (soul), hawa atau nafas (nafs), animus atau anemos (Yunani), dalam bahasa Jawa apa yang lazim disebut nyawa. Sekalipun berbeda istilah, tetapi memiliki makna yang nyaris sama.
Pertemuan Unsur Bumi dan Unsur Tuhan
Dalam tubuh manusia terdiri atas dua unsur besar yakni unsur bumi dan unsur Tuhan. Di antara kedua unsur tersebut terdapat “bahan penyambung”, dalam literatur barat disebut soul atau jiwa (yang ini terasa kurang pas), Islam; nafs, Yunani; anemos, dan dalam bahasa Indonesia;hawa, Jawa; nyawa (badan alus). Hawa, jiwa, anemos, soul, atau nyawa merupakan satu entitas yang kira-kira tidak berbeda maknanya, berfungsi sebagai media persentuhan atau “lem perekat” antara roh (spirit) dengan jasad (body/corpus). Hawa, nafs, anemos, soul, jiwa, nyawabermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus).
Dalam khasanah hermeneutika dan bahasa yang ada di nusantara tampak simpang siur dan tumpang tindih dalam memaknai jiwa, sukma, roh, dan nyawa. Ini sekaligus membuktikan bahwa memahami unsur Tuhan dalam diri manusia memang tidak sederhana dan semudah yang disebutkan. Karena obyeknya bersifat gaib, bukan obyek material. Cara pandang dan penafsiran dari sisi yang berbeda-beda, menimbulkan konsekuensi beragamnya makna yang kadang justru saling kontradiktif. Dengan alasan tersebut akan saya paparkan lebih jelas pemetaan tentang jiwa atau hawa dari sudut pandang budi-daya yang diperoleh melalui berbagai pengalaman obyek metafisika, dan intuisi, agar lebih netral dan mudah dipahami oleh siapa saja tanpa membedakan latar belakang agama. Dengan asumsi tersebut diperlukan perspektif yang sederhana namun mudah dipahami. Kami akan memaparkan melalui perspektif Javanism atau kejawen, dengan cara penulisan yang sederhana dan “membumi”.
Hubungan Unsur Tuhan dengan Unsur Bumi dalamLaku Prihatin
Setiap bayi lahir memiliki tingkat kesucian yang dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih. Kesucian berada dalam wahana nafs atau hawa yang masih bersih belum tercemar oleh “polusi” keduniawian. Hawa/nyawa/nafs diuji bolak-balik di antara dua kutub; yakni kutub jasmaniah yang berpusat di jasad (corpus) dan kutub ruhaniyah yang berpusat pada roh (spirit). Unsur roh bersifat suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material duniawi (dosa). Roh suci sebagai “utusan” Tuhan dalam diri manusia yang dapat membawa ketetapan/pedoman hidup. Sehingga roh dapat berperan sebagai obor yang memancarkan cahaya (spektrum) kebenaran dari Tuhan. Dalam perspektif Jawa roh suci (utusan Tuhan) tidak lain adalah apa yang disebut sebagai Guru Sejati. Guru Sejati tampil sebagai juru nasehat untuk hawa, jiwa atau nafs.
Hawa Nafsu ; Ibarat Satu Keping Mata Uang
Hawa (nafs) atau jiwa yang tunduk kepada roh suci (guru sejati) akan menghasilkan hawa (nafs) yang disebut nafsu positif –meminjam istilah Arab— sebagai an-nafs al-muthmainah.. Sebaliknya jiwa atau hawa yang tunduk pada keinginan jasad disebut sebagai nafsu negatif. Nafsu negatif terdiri tiga macam; nafsu lauwamah(kepuasan biologis; makan, minum, tidur dst), nafsuamarah (amarah/angkara murka), dan nafsu sufiyah(mengejar kenikmatan psikis; contohnya seks, sombong, narsism, gemar dipuji-puji). Hawa memiliki dua kutub nafsu yang bertentangan ibarat satu keping mata uang yang memiliki dua sisi. Akan tetapi kedua sisi tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara berbarengan. Apabila kita ingin menampilkan gambar angka, maka letakkan nilai nominal di sisi atas, sebaliknya jika kita berkehendak melihat gambar burung kita letakkan gambar angka di bawah. Apabila seseorang mengaku bisa melihat kedua sisi satu keping mata uang dalam waktu yang sama, maka seseorang dikatakan berjiwa munafik alias kehidupan yang palsu hanya berdasarkan pengaku-akuan bohong.
Manusia Bebas Memilih
Pada setiap bayi lahir, Tuhan telah menciptakan hawa dalam keadaan putih/suci. Manusia memiliki kebebasan menentukan apakah hawa nafsunya akan berkiblat kepada kesucian yang bersumber pada roh suci (ruhul kuddus), atau sebaliknya ingin berkiblat kepada kemungkaran jasad/raga (unsur duniawi).Apabila seseorang berkiblat pada kemungkaran akan menjadi seteru Tuhan dan memiliki konsekuensi (dosa/karma/hukuman) yang akan dirasakan kelak setelah menemui ajal (akhirat), bisa juga dirasakan sewaktu masih hidup di dunia.
Maka peranan semua agama yang ada di muka bumi adalah pendidikan yang ditujukan kepada hawa/nafs/jiwa manusia agar selalu berkiblat kepada rumus Tuhan atau qodratullah. Sumber dari ilmu dan “rumus Tuhan” (qodratullah) bisa kita temukan dalam “perpustakaan” atau gudang ilmu yang terdekat dengan diri kita, yakni roh suci (Ruhul-Kuddus/Guru-Sejati/Sukma-Sejati/Rahsa-Sejati.
Kadang kala Tuhan Maha Pemurah menganugerahkan seseorang untuk mendapat “bocoran soal” akan rahasia “ilmu Tuhan” melalui pintu hati (qalb) yang di sinari oleh cahyo sejati (nurullah). Yang lazim disebut sebagai ungkapan dari (hati) nurani. Petunjuk dari Tuhan ini diartikan sebagai wirayat, wahyu, risalah, sasmita gaib, ilham, wisik dan sebagainya. Dalam posting ini kami tidak membahas model dan macam petunjuk Tuhan tersebut.
Laku Prihatin adalah Jihad Sejati
“Penundukan” roh terhadap hawa nafsu negatif adalah penundukkan terhadap segala yang berhubungan dengan material (syahwat) atau kenikmatan ragawi. Dengan kata lain yakni penundukan unsur “Tuhan” terhadap unsur bumi. Dalam ilmu Jawa dikatakan sebagai jiwa yang tunduk pada kareping rahsa / rasa sejati (kehendak Guru Sejati/kehendak Tuhan), serta meredam rahsaning karep (kemauan hawa nafsu negatif). Segenap upaya yang mendukung proses “penundukan” unsur Tuhan terhadap unsur bumi dalam khasanah Jawa disebut sebagai laku prihatin. Dengan laku prihatin, seseorang berharap jiwanya tidak dikendalikan oleh keinginan jasad. Maka di dalam khasanah spiritual Kejawen, laku prihatin merupakan syarat utama yang harus dilakukan seseorang menggapai tingkatan spiritualitas sejati.
Seperti ditegaskan dalam serat Wedhatama (Jawa; Wredhotomo) karya KGPAA Mangkunegoro IV; bahwa ngelmu iku kalakone kanthi laku. Laku prihatin dalam istilah Arab sebagai aqabah, yakni jalan terjal mendaki dan sulit, karena seseorang yang menjalani laku prihatin harus membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu yang negatif. Di mana ia sebagai sumber kenikmatan keduniawian. Maka apa yang disebut sebagai Jihad yang sesungguhnya adalah perang tanding didalam kalbu antara tentara nafsu positif menawan tentara nafsu negatif. Disebut kemenangan dalam berjihad apabila seseorang telah berhasil “meledakkan bom” di pusat kekuasaan setan (hawa nafsu negatif) dalam hati kita. “Bahan peledaknya” bernama laku prihatin dan olah batin (wara’dan amr ma’ruf nahi munkar).
Target Utama dalam “Berjihad” (Laku Prihatin)
Perjalanan spiritual dalam bentuk laku prihatin, mempunyai target membentuk hawa nafsu positif ataunafsul muthmainnah. Karena si nafs atau hawa tersebut telah stabil dalam koridor rumus Tuhan (qodrat atau qudrah diri) atau dalam bahasa sansekerta lazimnya disebut sebagai swadharma. Roh yang berada pada tataran pencapaian ini, dalam bahasa Ibrani, ruh disebut sebagai syekinah yang diturunkan ke dalam kalbu dan berhasil merebut (amr) kebaikan (ma’ruf). Jika hawa tidak berdaya karena kuatnya arus nafsu negatif yang dimasukkan jasad lewat pintu panca indera, maka kepribadian manusia dikuasai oleh “milisi” kekuatan batin yang oleh Freud diberi nama ego.
Ego cenderung berkiblat pada jasad (duniawi). Maka sudah menjadi tugas hawa (id) untuk membangkang dari keinginan ego agar supaya membelot kepada kekuatan hawa positif (super ego). Hasilnya maka manusia dapat dikendalikan sesuai dengan kodrat dirinya sebagai khalifah Tuhan. Jadilah manusia yang tetap berada pada orbitNya (qodrat/rumus Tuhan), yakni apa yang dimaksud menjadi titah jalma menungsa kang sejati, yaiku nggayuh kasampurnaning gesang,(untuk meraih) sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.
Sangat terasa bahwa Tuhan sungguh lebih dari Maha Adil, setiap manusia tanpa kecuali dapat menemukan Tuhan melalui pintu nafs, jiwa, atau hawanya masing-masing, karena Tuhan telah membekali jiwa manusia akan kemampuan menangkap sinyal-sinyal suci dari Hyang Mahasuci. Sinyal suci yang diletakkan di dalam rahsa sejati (sirullah) dan roh sejati (ruhullah). Sudah merupakan rumus (Tuhan), apabila seseorang dapat meraih dharma-nya atau kodrat-dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, maka kehidupannya akan selalu menemui kemudahan. Sebaliknya hawa nafsu negatif (setan) senantiasa menggoda hawa/nafs manusia agar supaya hawanya berkiblat kepada unsur bumi.
Menjadi Pribadi yang Menang
Sepanjang hidup manusia selalu berada di dalam arena peperangan “Baratayudha/Brontoyudho” (jihad) antara kekuatan nafsu positif (Pendawa Lima) melawan nafsu negatif (100 pasukan Kurawa). Perang berlangsung di medan perang yang bernama “Padang Kurusetra” (Kalbu). Peperangan yang paling berat dan merupakan sejatinya perang (jihad fi sabilillah) atau perang di jalan kebenaran.
Kemenangan Pendawa Lima diraih tidak mudah. Dan sekalipun kalah pasukan Kurawa 100 selamanya sulit dibrantas tuntas hingga musnah. Maknanya sekalipun hawa nafsu positif telah diraih, artinya hawa nafsu negatif (setan) akan selalu mengincar kapan saja si hawa lengah. Kejawen mengajarkan berbagai macam cara untuk memenangkan peperangan besar tersebut. Di antaranya dengan laku prihatin untuk meraih kemenangan melalui empat tahapan yang harus dilaksanakan secara tuntas. Empat tahapan tersebut dikiaskan ke dalam nada suara salah instrumen Gamelan Jawa yang dinamakan Kempul atau Kenong dan Bonang yang menimbulkan bunyi; Neng, Ning, Nung, Nang.
1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yangwening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.
4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Neng adalah syariatnya, Ning adalah tarekatnya, Nung adalah hakekatnya, Nang adalah makrifatnya. Ujung dari empat tahap tersebut adalah kodrat (sastrajendra hayuning Rat pangruwating diyu).
No comments: